Suaka di Asia Tenggara Tidak semua orang punya pilihan untuk tinggal. Beberapa harus pergi—bukan karena ingin, tapi karena tak ada tempat untuk pulang.
Di sudut-sudut kota besar Asia Tenggara, dari Kuala Lumpur hingga Medan, dari Chiang Mai ke Batam, ada ribuan orang yang tak punya negara. Mereka tak sedang liburan. Mereka sedang menghindar dari sesuatu yang tak semestinya dihadapi manusia.
Aku pernah duduk di lantai beton sebuah tempat penampungan tua di Makassar, bersama pria bernama Arian, asal Afghanistan. Ia tak minta dikasihani. “Saya hanya ingin anak saya bisa ke sekolah,” katanya pelan, sambil menunjuk bocah kecil berkaus biru yang sibuk menggambar matahari di tembok. “Itu saja.”.
Table of Contents
Orang-Orang yang Tak Masuk Dalam Daftar Siapa Pun Suaka di Asia Tenggara

Asia Tenggara tak punya sistem perlindungan pengungsi yang menyeluruh. Konvensi 1951? Banyak negara di kawasan ini bahkan tidak mau menandatanganinya. Indonesia, Malaysia, Thailand—tak satu pun punya undang-undang yang benar-benar mengakui status pengungsi secara hukum domestik.
Artinya: para pencari suaka tak terlihat oleh sistem.
Mereka ada, tapi tidak tercatat. Hidup, tapi tidak diakui. Jalan di pasar, tapi tak bisa sekolah. Bekerja di dapur belakang restoran, tapi tak boleh mengurus SIM. Mereka seperti bayangan dalam sistem birokrasi.
Suaka di Asia Tenggara : Waktu di Perbatasan Tak Berhenti, Tapi Tak Juga Bergerak
Seseorang pernah berkata bahwa pengungsi hidup dalam “peralihan permanen.” Saya rasa itu tepat. Mereka menunggu surat dari UNHCR. Menunggu kabar dari Kanada. Menunggu wawancara. Menunggu kabar baik.
Tapi kadang yang datang justru sebaliknya: penolakan, deportasi, atau hanya… keheningan.
Di Malaysia, saya sempat berbicara dengan Rina, seorang ibu muda dari Myanmar. Ia tinggal di apartemen sempit dengan lima keluarga lain. Suaminya kerja serabutan. “Setiap kali suami saya pulang malam, saya takut,” katanya. “Bukan karena saya marah, tapi takut ia tak kembali karena dirazia.”
Ia tertawa sebentar, lalu menunduk.
Asia Tenggara Anak-Anak Tanpa Negara, Tanpa Nama di Dokumen
Salah satu pemandangan paling menghantui saya adalah melihat kelas darurat di kawasan Bogor. Dindingnya terbuat dari spanduk bekas. Meja dari kayu sisa. Tapi anak-anak di sana tetap semangat menyanyikan alfabet.
Mereka tak bisa ikut ujian nasional. Tak bisa mendaftar ke sekolah negeri. Beberapa bahkan lahir di Indonesia, tapi hingga usia 10 tahun, belum pernah mencetak akta lahir.
Mereka tumbuh, tapi tidak secara hukum.
Asia Tenggara Negara Tutup Mata, Rakyat Turun Tangan
Ironisnya, dalam banyak kasus, justru masyarakat sipil yang lebih dulu menunjukkan kepedulian. Di Aceh, warga nelayan pernah menarik kapal pengungsi Rohingya yang nyaris karam. Mereka beri makan, beri pakaian, bahkan ruang tidur.
Sementara itu, aparat masih sibuk “mengkoordinasikan langkah”, kata mereka di media. Tapi langkah itu kadang tak pernah benar-benar sampai.
Terkadang, Tak Ada Yang Bisa Dilakukan Selain Bertahan
Satu malam di Jakarta, saya ikut patroli relawan yang membagikan makanan ke komunitas pengungsi di sekitar Kalideres. Seorang anak laki-laki, mungkin sekitar tujuh tahun, mengambil bungkusan roti dan berkata dalam Bahasa Inggris fasih, “Do you think I will be in Canada by next year?”
Saya tidak tahu harus menjawab apa.
Harapan yang Menipis, Tapi Belum Padam
Ada kemarahan. Ada kelelahan. Tapi juga ada secercah harapan.
Mereka tetap berdoa. Tetap mengikuti program belajar dari LSM lokal. Tetap menulis surat ke UNHCR. Tetap mencoba setiap hari seolah semua bisa berubah esok pagi. Dan mungkin, itu yang paling menggetarkan hati: kemampuan untuk percaya bahwa sesuatu masih mungkin.
Bukan Tentang Jumlah, Tapi Tentang Wajah
Terlalu sering kita bicara soal pengungsi dalam angka. Tapi yang saya temui bukan angka. Mereka punya nama, cerita, suara. Mereka suka mie ayam, mendengarkan musik Bollywood, atau belajar Bahasa Indonesia lewat YouTube.
Mereka bukan ancaman. Mereka adalah bagian dari kita, yang terjebak dalam sistem yang belum siap.
Akhir yang Masih Panjang
Tulisan ini tidak menawarkan solusi konkret. Karena solusi seringkali butuh kehendak politik, bukan sekadar empati.
Tapi jika ada yang bisa kita mulai dari sekarang, mungkin hanya satu: melihat mereka bukan sebagai beban, tapi sebagai manusia yang sedang mencari tempat untuk pulang.
Dan siapa tahu, di masa depan, negeri ini bisa menjadi tempat yang mereka sebut “rumah”—meski hanya sementara.
Aylanah Salim: Potret Luka Sunyi dari Yaman – Kasus Suaka yang Dunia Abaikan
Leave a Reply