kemanusiaan suaka

Ketika Asap Perang Menyebar: Potensi Suaka dalam Krisis Iran–Israel

Israel, Juni 2025 — Di sebuah kedai kecil dekat Hamra Street, saya berbicara dengan seorang aktivis Iran yang telah menetap di Lebanon sejak tahun lalu. Namanya tidak bisa disebutkan. Ia menyebut dirinya “M”, seorang mantan mahasiswa hukum di Teheran, yang kini hidup dengan identitas baru. Yang menarik bukan hanya kisah pelariannya dari rezim Iran, tapi ketertarikannya untuk mencari perlindungan ke wilayah yang lebih tak terduga: Israel.

Sekilas terdengar paradoks. Tapi dalam dunia nyata, krisis kemanusiaan tidak pernah mengikuti logika diplomatik.


Tak Ada Perang Terbuka, Tapi Luka Menganga

Krisis Iran–Israel

Iran dan Israel belum pernah benar-benar berperang langsung. Tapi yang terjadi selama dua dekade terakhir jelas bukan perdamaian. Di balik berita drone, serangan siber, dan fasilitas nuklir yang terbakar misterius, ada korban-korban yang tidak masuk statistik: warga sipil, pembelot, minoritas, atau siapa pun yang terjepit di antara dua kubu ideologi.

Situasi ini menciptakan lahan subur untuk kemungkinan baru: permohonan suaka lintas musuh ideologis.


Bukan Sekadar Pengungsi, Tapi Manusia dengan Risiko Nyawa

Dalam konflik biasa, kita mengenal warga sipil yang kabur karena perang. Tapi di sini, lebih rumit. Yang mungkin lari bukan hanya rakyat biasa, tapi juga orang dalam.

Contoh yang pernah saya temui di Siprus selatan: seorang teknisi jaringan dari Isfahan, yang dituduh membantu “kelompok Zionis” hanya karena mengunggah tweet satir tentang pemadaman listrik. Ia kini dalam tahanan imigrasi, menunggu apakah negara Eropa bersedia memberinya status pengungsi. Tapi yang ia harapkan sebenarnya… adalah Israel.

“Kami dibesarkan membenci Israel,” katanya. “Tapi kini, satu-satunya tempat yang mungkin menerima saya adalah negara itu.”


Simulasi Krisis: Apa yang Bisa Terjadi?

Mari kita bermain spekulatif, bukan asal tebak. Jika terjadi eskalasi besar:

  • Iran kehilangan kontrol di wilayah barat karena serangan siber masif
  • Israel menyerang fasilitas nuklir di Natanz, dan korban sipil tak terhindarkan
  • Sebagian besar jaringan sosial Iran menuding kelompok oposan sebagai kaki tangan Israel

Dalam kondisi seperti ini, kelompok-kelompok minoritas seperti Baha’i, aktivis pro-demokrasi, bahkan beberapa akademisi bisa terancam nyawanya. Pilihan realistis mereka? Kabur ke luar negeri lewat perbatasan Turki atau Armenia.

Lalu bagaimana mereka bisa mengajukan suaka ke Israel, negara yang bahkan tidak punya hubungan diplomatik dengan tanah kelahirannya?


Jalur Ketiga: Ketika Negara Tidak Bicara, Tapi Manusia Bergerak

Sejarah mencatat bahwa hubungan antara manusia dan negara bisa dibengkokkan oleh realitas. Banyak pembelot Iran sejak 1990-an memilih jalur ke Eropa dulu, lalu memohon perlindungan ke negara-negara yang punya kepentingan strategis dengan Israel.

Saya berbicara dengan mantan diplomat yang kini menetap di Wina. Menurutnya, proses itu bukan lewat jalur pengungsi biasa, tapi lewat kerja sama tidak resmi antarintelijen. Ia menyebutnya “diplomasi diam”.

“Tidak selalu lewat visa. Kadang, lewat pemindahan rahasia. Siapa pun yang punya nilai informasi bisa jadi aset, bukan hanya beban pengungsi,” katanya.


Dari Sisi Israel: Antara Perlindungan dan Keamanan

Israel, negara yang terkenal ketat dalam isu keamanan, tentu tidak bisa sembarangan menerima warga Iran. Tapi sejarah juga mencatat bahwa Israel pernah memberi perlindungan kepada individu dari negara musuh jika mereka memenuhi tiga kriteria:

  1. Memiliki risiko nyata atas hidupnya jika kembali
  2. Punya catatan yang bersih dan tak terkait kejahatan
  3. Dianggap memiliki nilai strategis atau moral tinggi

Tidak semua permintaan akan diterima, tentu. Tapi isu ini tidak lagi soal politik, tapi soal kemanusiaan.


Bagaimana dengan Rakyat Israel Sendiri?

Di sisi lain, jika terjadi pembalasan besar, dan wilayah sipil Israel menjadi sasaran, skenario lain juga bisa terjadi: evakuasi warga Israel ke negara sahabat.

Meski kecil kemungkinan warga Israel mengajukan suaka seperti pengungsi perang biasa, kondisi darurat bisa membuat ribuan warga negara mencari perlindungan di luar negeri. Ini lebih ke status temporary humanitarian relocation, bukan suaka konvensional.


Politik Tak Selalu Bicara Tentang Manusia

Dalam seminar di Amman, saya bertemu seorang pengacara HAM dari Ramallah. Ia mengatakan sesuatu yang saya catat:

“Jika Israel menerima pembelot Iran, itu bukan pengkhianatan. Itu bentuk tertinggi diplomasi: menerima manusia, bukan bendera.”

Ucapannya membekas. Mungkin karena, selama ini, kita terbiasa melihat konflik dalam angka, bukan wajah. Dalam kenyataan, konflik besar sering menyisakan cerita-cerita kecil yang lebih dalam dan lebih menyentuh.


Penutup: Siapa yang Peduli Ketika Rumah Tak Lagi Aman?

Ketegangan Iran–Israel bisa jadi tetap seperti hari ini: panas tapi tak meledak. Tapi siapa yang bisa menjamin? Dalam setiap percik api, selalu ada kemungkinan kebakaran.

Dan di antara asap itu, akan selalu ada manusia yang mencari tempat untuk bernaung. Mungkin bukan tempat yang mereka sukai. Mungkin bahkan tempat yang dulu mereka benci.

Tapi ketika rumah sendiri tak lagi aman, kadang tempat musuh pun bisa terasa lebih manusiawi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *