kemanusiaan suaka

Nasib Para Pejuang Suaka di Aceh: Tumbuh Tanpa Pendidikan Formal?

Suaka di Aceh, suaka, ascella

Kisah Nyata dari Pesisir

Para pejuang suaka yang seperti tidak menemukan jalan untuk berlanjut, lantas bagaimana dengan anak mereka dan seputar pendidikan mereka? “Namaku Yasmin. Aku 12 tahun dan aku belum pernah sekolah sejak meninggalkan Myanmar.” Ucapan ini keluar dengan suara pelan dari mulut seorang anak perempuan Rohingya di Aceh. Di matanya tidak ada tangisan, hanya tatapan kosong penuh tanda tanya.

Aceh memang bukan tempat lahirnya, tetapi saat ini, tempat itulah yang disebut ‘rumah’. Rumah tanpa bangku sekolah, tanpa seragam, tanpa pelajaran pagi. Ayahnya pernah menjadi guru matematika. Kini, ia memulung botol plastik di tepi laut.


Pendidikan yang Terhenti di Perbatasan

Suaka di Aceh, suaka, ascella

Sebagian besar pengungsi yang mendarat di Aceh datang tanpa dokumen identitas lengkap. Tanpa itu, sistem pendidikan nasional menutup pintu. Tidak ada NISN, tidak ada raport, tidak ada ujian nasional. Seolah-olah mereka tidak pernah ada.

Padahal, sebagian dari anak-anak ini dulunya aktif di sekolah asal mereka. Mereka bisa membaca dua bahasa, menghitung cepat, dan bermimpi menjadi dokter atau guru.

“Kami ingin mereka belajar, bukan mengemis,” kata Ustaz Ismail, seorang tokoh masyarakat di Aceh Utara yang sesekali membuka pengajian untuk anak-anak pengungsi.


Sekolah Bayangan dan Guru Sukarelawan

Beberapa warga membuka garasi mereka, menggelar tikar, dan menjadikannya ruang kelas darurat. Guru yang datang pun bukan guru biasa. Ada ibu rumah tangga, pensiunan PNS, hingga mahasiswa semester akhir yang pulang kampung.

Materi yang diajarkan tidak muluk-muluk:

  • Membaca dan menulis huruf Latin dan Arab
  • Pengetahuan umum seperti nama-nama negara dan planet
  • Aktivitas fisik ringan agar anak tetap sehat dan semangat

“Setidaknya mereka tahu cara menulis nama mereka sendiri,” ujar Bu Winda, guru sukarelawan dari Banda Aceh. Suaminya, Pak Amir, bahkan ikut membantu menyiapkan papan tulis dan memberi camilan usai kelas.


Ketimpangan yang Diabaikan

Anak-anak pengungsi sering kali terlihat di sekitar tempat publik—pasar, lapangan, bahkan pelabuhan. Tapi hampir tak ada ruang bagi mereka untuk belajar dengan tenang. Mereka tidak bisa ikut lomba 17-an. Tidak ikut upacara bendera. Tidak ikut ujian semester.

Bukan karena mereka tidak mampu, tapi karena tidak dianggap. Padahal mereka tinggal di antara kita, mendengar lagu kebangsaan kita, dan menatap langit yang sama.


Tanggapan Pemerintah dan Harapan Baru

Pemerintah Aceh menyatakan telah bekerja sama dengan UNHCR. Namun belum ada langkah konkret di lapangan. Beberapa sekolah negeri sempat menerima kunjungan dari perwakilan pengungsi, tapi belum ada instruksi jelas dari dinas pendidikan.

Aktivis pendidikan lokal mengusulkan beberapa ide:

  • Jam belajar terpisah sore hari untuk anak pengungsi di sekolah negeri
  • Sertifikasi informal yang bisa diakui UNHCR untuk resettlement
  • Pelibatan anak pengungsi dalam kegiatan ekstrakurikuler terbuka

“Anak-anak ini tidak bisa menunggu terlalu lama,” ujar Teuku Rinaldi, seorang konselor pendidikan di Lhokseumawe. “Kita tidak sedang bicara soal kurikulum, tapi soal kemanusiaan.”


Mengapa Ini Bukan Masalah Pengungsi Saja

Aceh adalah bagian dari Indonesia. Dan Indonesia dikenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai gotong royong dan kemanusiaan. Bila kita membiarkan anak-anak ini tumbuh tanpa arah, itu bukan sekadar kehilangan mereka—tapi kegagalan kita.

Anak-anak ini bukan ancaman. Mereka adalah peluang: untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia bisa menjadi teladan dalam menangani isu suaka secara manusiawi.

“Kalau bukan kita yang bantu mereka, siapa lagi?” ujar Pak Lukman, kepala dusun di Pidie. “Dulu kita juga pernah jadi pengungsi saat konflik. Apa kita sudah lupa?”


Kesimpulan: Waktunya Tindakan, Bukan Simpati

Anak-anak pencari suaka di Aceh tidak menuntut mewah. Mereka hanya ingin tahu A sampai Z, angka 1 sampai 10. Mereka ingin bermain dan bertanya, seperti anak-anak pada umumnya.

Jika pendidikan adalah hak, maka tidak boleh ada anak yang tertinggal. Termasuk anak yang datang tanpa negara, tanpa paspor, tapi dengan semangat yang sama: ingin tahu, ingin belajar, ingin hidup lebih baik.

Kita tidak bisa menunggu sistem berubah. Kita bisa mulai dari halaman rumah kita sendiri. Dari garasi yang dijadikan kelas. Dari buku bekas yang dijadikan jendela dunia. Dan dari keberanian untuk melihat mereka bukan sebagai tamu—tapi sebagai tetangga.

1 Panduan Lengkap Sistem Suaka: Dari Krisis Hingga Perlindungan yang Bermartabat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *