kemanusiaan suaka

Aylanah Salim: Potret Luka Sunyi dari Yaman – Kasus Suaka yang Dunia Abaikan

Aylanah Salim

Di tengah suara ledakan dan dentuman udara panas padang pasir Yaman, seorang remaja perempuan bernama Aylanah Salim menulis sesuatu di lembar buku bekas yang ia temukan dari reruntuhan sekolahnya. Ia tak tahu apakah esok masih bisa menulis. Ia hanya tahu, tempat tinggalnya bukan lagi rumah, tapi puing dan ketakutan.

Perjalanan Aylanah menjadi pengungsi bukan karena pilihan. Ia kehilangan rumah, ayahnya, dan dua saudaranya dalam serangan udara koalisi pada 2021. Ibunya hilang entah ke mana saat mereka mengungsi dari Sana’a menuju Hudaydah. Di usia 15 tahun, ia harus berjalan sendiri, berbulan-bulan, dari Yaman menuju Sudan, lalu Libya, dan akhirnya mencoba peruntungan menyeberang ke Eropa. Namun di situlah ceritanya yang tragis dimulai.


🌍 Konflik Yaman: Neraka yang Terlupakan

Yaman adalah salah satu konflik kemanusiaan paling parah di abad ke-21, namun paling sedikit diliput. Sejak perang saudara berkecamuk pada 2015 antara Houthi dan pemerintah yang didukung Saudi, negara ini berubah menjadi ladang kematian dan kelaparan.

Lebih dari 23 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan, dan sekitar 4,5 juta terpaksa mengungsi dari rumahnya. Sebagian besar dari mereka adalah anak-anak dan perempuan yang tidak punya tempat berlindung.

Aylanah termasuk dalam kelompok pengungsi internal yang akhirnya berusaha melarikan diri ke luar negeri — hanya untuk bertemu tembok-tembok dingin sistem suaka global.


🛶 Dari Libya ke Italia: Penyeberangan yang Nyaris Merenggut Nyawanya

Setelah hampir setahun hidup sebagai asisten rumah tangga tak dibayar di Benghazi, Aylanah bergabung dalam rombongan pengungsi yang hendak menyeberang ke Italia dengan kapal kecil.

Malam itu laut tenang, tapi kapal penuh sesak. Sekitar 60 orang, termasuk anak-anak dan lansia. Beberapa jam setelah berlayar, mesin kapal mati. Gelombang besar menghantam dan kapal terbalik.

Aylanah selamat dengan memeluk jeriken kosong selama enam jam. Belasan orang meninggal, termasuk dua wanita yang selama di Libya menjadi sahabat barunya. Ia ditolong oleh LSM penyelamat laut yang membawa korban selamat ke Sisilia.


🛂 Ditolak karena Tak Punya Dokumen

Di Italia, Aylanah mengajukan suaka. Tapi seperti ribuan pengungsi lain, tanpa dokumen resmi, akta lahir, atau bukti identitas, prosesnya tak semudah yang dibayangkan.

  • Permohonannya ditolak pertama kali karena “tidak dapat membuktikan risiko nyata terhadap dirinya secara individu”
  • Penolakan kedua datang saat dia sudah mulai belajar bahasa Italia dan tinggal di penampungan Palermo
  • Selama dua tahun, ia hidup sebagai “non-person” — tidak bisa sekolah, tidak bisa bekerja, tidak bisa pulang

Yang lebih menyakitkan, dua kali Aylanah nyaris dideportasi ke Sudan — negara yang tak pernah ia tinggali, hanya karena jalur masuknya dianggap dari sana.


🔒 Sistem Suaka yang Gagal Melihat Luka Tak Kasat Mata

Kasus Aylanah menggambarkan kebuntuan sistem suaka modern. Negara-negara Uni Eropa banyak menolak pengungsi dengan alasan administratif: dokumen, status negara asal, atau prosedur Dublin III (yang memaksa pengungsi mendaftar hanya di negara pertama yang dimasuki).

Namun tidak semua trauma bisa dibuktikan dengan dokumen.

“Saya tidak punya paspor. Tapi saya punya bekas luka di tangan saya dari puing sekolah. Apakah luka itu tidak cukup untuk bukti?”
– Aylanah, dalam wawancara dengan The International Observatory on Refugees, 2024.


💔 Satu-satunya Perempuan Muda di Kamp Tanpa Keluarga

Selama 14 bulan tinggal di kamp pengungsi dekat Napoli, Aylanah menjadi perempuan termuda tanpa pendamping. Banyak NGO memperingatkan soal risiko eksploitasi seksual, kekerasan berbasis gender, dan gangguan psikologis.

Meski begitu, Aylanah tetap menulis. Ia belajar secara otodidak. Catatannya berisi puisi, pengakuan rasa kehilangan, dan pertanyaan sederhana:
“Kenapa orang-orang menutup pintu saat saya datang hanya untuk bertanya apakah saya bisa tidur?”


🕊️ Titik Balik: Suaka Akhirnya Diberikan, Tapi Terlambat

Pada awal 2025, setelah kampanye besar-besaran dari aktivis HAM, penulis Eropa, dan jurnalis internasional, pemerintah Italia akhirnya memberi status perlindungan kemanusiaan permanen bagi Aylanah.

Namun kabar itu datang terlambat: kondisi psikologisnya sudah menurun drastis. Ia mengalami depresi berat dan trauma kompleks, hingga harus menjalani rawat jalan dan terapi selama beberapa bulan.


📣 Mengapa Kasus Ini Begitu Menyedihkan?

Karena Aylanah adalah contoh nyata dari:

  • Seorang anak perempuan tanpa perlindungan
  • Korban konflik yang tidak diakui sebagai prioritas sistem suaka
  • Seorang pengungsi yang tidak “cukup penting” untuk diberi tempat
  • Seseorang yang kehilangan masa kecil, pendidikan, dan keluarga — tapi tetap ditolak di pintu peradaban modern

🤲 Refleksi: Dunia yang Terlalu Sibuk untuk Melihat

Selama dunia lebih sibuk memperdebatkan kuota dan dokumen, anak-anak seperti Aylanah terperangkap dalam kekosongan hukum dan moral. Mereka bukan lagi warga negaranya, tapi juga bukan warga negara mana pun.

Di era yang katanya paling maju dan terhubung, kita gagal melindungi yang paling rentan. Dan tragedi Aylanah adalah potret paling menyayat dari sunyi yang dibiarkan.


📝 Penutup

Aylanah kini tinggal di sebuah rumah singgah di Bologna. Ia tidak banyak bicara. Tapi dalam satu sesi wawancara dengan jurnalis, ia menulis kalimat ini di buku catatannya:

“Saya bukan korban. Saya hanya seseorang yang tidak diajak bicara ketika semua keputusan tentang saya dibuat.”

Nama Aylanah Salim mungkin tidak viral. Tapi kisahnya adalah salah satu tragedi suaka paling menyedihkan abad ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *