Keyakinan yang Tak Diterima di Tanah Sendiri
Candomblé Ketika senja jatuh di Brasil, ada rumah-rumah yang tetap terang bukan karena lampu, tapi karena doa. Salah satu rumah itu dihuni oleh seorang perempuan yang hidup dari warisan spiritual Afrika yang turun menurun: Candomblé. Tapi, di kampung halamannya sendiri, keyakinan itu justru mengundang bencana.
Dia bukan penyihir. Tidak sedang menyusun mantra, apalagi melakukan sihir. Ia hanya menyalakan lilin dan berdoa. Tapi bagi sebagian orang, itu cukup untuk melabelinya sebagai “dukun” dan ancaman sosial.
Table of Contents
Awal Mula Persekusi: Rumah yang Tak Lagi Aman

Rumah tempatnya tinggal berubah menjadi tempat teror. Lemparan batu, bisikan fitnah, kehilangan pekerjaan, bahkan ancaman pembakaran rumah ibadah kecil tempat ia memimpin komunitasnya. Candomblé memang bukan kepercayaan yang asing di Brasil. Ia lahir dari luka sejarah perbudakan, menyatukan roh Afrika, Katolik, dan budaya lokal. Tapi meski telah ada selama ratusan tahun, masih banyak yang menganggapnya menyimpang. Bahkan setan.
Keputusan untuk Pergi: Amerika sebagai Jalan Keluar
Ketika kondisi makin memburuk, ia memutuskan pergi. Menyelinap keluar bukan karena ia kriminal, melainkan karena ia percaya bahwa bertahan adalah bentuk perlawanan, tapi keselamatan lebih penting. Amerika Serikat jadi tujuan. Ia tidak datang dengan niat tinggal selamanya. Tapi ia datang dengan harapan hidup tanpa rasa takut.
Proses Suaka: Kesaksian, Bukti, dan Harapan
Setibanya di AS, ia mengajukan permohonan suaka. Prosesnya panjang dan menyakitkan. Bukan hanya karena administrasi yang rumit, tapi karena ia harus kembali mengulang cerita yang bahkan keluarga sendiri enggan mendengar. Tapi kali ini, ia tidak sendiri. Organisasi hak asasi manusia, pengacara sukarela, dan pakar budaya ikut memperjuangkannya.
Pengadilan imigrasi di California mendengarkan. Mereka melihat bukti: foto-foto tempat ibadah yang dirusak, surat ancaman dari kelompok ekstremis, dan catatan kehilangan pekerjaan tanpa alasan formal. Tapi yang lebih penting, mereka mendengar suara yang sering dilupakan: suara minoritas spiritual yang tak pernah meminta untuk didengar, hanya ingin tidak disakiti.
Keputusan Hukum: Sebuah Preseden Penting
Pada pertengahan 2025, ia menang. Suaka dikabulkan. Bukan karena belas kasihan, tapi karena sistem hukum menyadari bahwa kebebasan beragama tidak boleh eksklusif untuk kelompok besar. Ia layak dilindungi. Keyakinannya tidak boleh jadi alasan untuk dihancurkan.
Keputusan ini menciptakan preseden. Bagi sebagian orang, ini mungkin hanya satu kasus di antara ribuan. Tapi bagi komunitas yang memeluk Candomblé dan kepercayaan minoritas lainnya, ini adalah tanda bahwa dunia belum sepenuhnya tuli.
Setelah Suaka: Hidup yang Baru, Luka yang Lama
Kini ia tinggal di negara yang belum tentu mengerti semua makna doanya, tapi setidaknya tidak membakarnya. Ia mulai dari awal. Membuka ruang kecil untuk berbagi ritual, menyalakan lilin tanpa harus mengunci pintu.
Kasusnya menimbulkan reaksi beragam. Di Brasil, sebagian media mengangkatnya sebagai bukti bahwa intoleransi masih hidup. Yang lain mencemooh, menyebutnya pembelot budaya. Tapi apa arti budaya jika tak ada ruang untuk yang berbeda?
Refleksi: Pelajaran dari Satu Perjalanan
Amerika bukan surga. Tapi untuk perempuan ini, negeri yang jauh itu memberi satu hal yang tak pernah ia dapat di tanah kelahirannya: tempat berteduh. Bukan untuk sembunyi, tapi untuk bernapas. Ia tidak lagi hidup dalam bayang-bayang. Ia ada, terlihat, dan diakui.
Kisah ini bukan soal pahlawan atau pengungsi biasa. Ini tentang bagaimana kepercayaan bisa dianggap ancaman, dan bagaimana sistem hukum, jika benar dijalankan, bisa menjadi pelindung dari dunia yang tak adil. Ini juga tentang bagaimana luka sejarah — seperti warisan perbudakan dan kolonialisme — terus berdampak sampai hari ini.
Kesimpulan: Ketika Dunia Menolak, Satu Pintu Bisa Cukup
Yang kita pelajari dari kisah ini bukan hanya soal hukum atau hak suaka. Tapi soal manusia. Soal berani memeluk identitas meski tahu konsekuensinya berat. Soal melawan bukan dengan senjata, tapi dengan keyakinan yang tak bisa dipadamkan.
Dan pada akhirnya, ketika dunia menolak, satu ruang yang membuka pintu bisa jadi cukup. Bukan untuk menyembuhkan semuanya. Tapi cukup untuk membuat seseorang bertahan.
Irak, 2003: Ketika Rumah Jadi Asing dan Dunia Terlalu Diam
Leave a Reply