kemanusiaan suaka

Di Antara Langkah dan Bayangan: Cerita Indonesia, Suaka, dan Dunia yang Tak Pasti

Suaka di Indonesia

Artikel ini membahas posisi Indonesia dalam isu suaka internasional, realita pengungsi di dalam negeri, serta tantangan sosial dan diplomatik yang dihadapi. Saya pernah bertemu seorang pria muda di Jakarta, di pinggir jalan, tidak jauh dari halte Transjakarta. Rambutnya hitam lebat, wajahnya khas Asia Tengah, dan bahasa Inggrisnya terdengar terlatih. Ia dari Afghanistan, katanya. Lari dari rezim. Menunggu suaka. “Sudah lima tahun,” ucapnya, singkat. Lalu diam.

Momen itu membekas. Dan sejak saat itu, saya mulai bertanya: apa peran negara kita—Indonesia—dalam semua ini?


Kita Bukan Negara Penampung. Tapi Kita Menampung

Secara formal, Indonesia memang bukan negara penandatangan Konvensi Pengungsi 1951. Artinya, kita tidak punya kewajiban hukum internasional untuk mengakui status suaka seseorang. Tapi kenyataannya, ribuan orang tetap datang. Mereka mendarat. Tinggal. Bertahan.

Lucu juga, ya? Tidak ikut perjanjian, tapi jadi “penjaga gawang” wilayah Asia. Dan anehnya, dunia seolah senang-senang saja dengan posisi kita ini.


Hidup di Tengah-Tengah: Bukan Warga, Bukan Pendatang

Bayangkan hidup tanpa status. Tidak bisa bekerja. Tidak boleh sekolah di sekolah negeri. Tidak punya masa depan yang jelas. Tapi juga tidak bisa kembali ke negara asal, karena di sana sudah tidak ada rumah. Tidak ada perlindungan.

Itulah yang dirasakan ribuan pengungsi yang tersebar di Indonesia. Dari Cisarua sampai Makassar, dari Medan sampai Kupang. Mereka ada di antara kita, tapi tak benar-benar hadir. Mereka berjalan di trotoar yang sama, belanja di warung yang sama, tapi bagi sistem—mereka tidak “terdaftar”.


Dunia Tahu, Tapi Diam

Saya pribadi tidak berpikir bahwa Indonesia harus memikul semuanya. Tapi saya juga tidak nyaman saat melihat pengungsi ditelantarkan begitu saja. Negara-negara besar—yang sibuk bicara HAM di forum internasional—sering kali malah yang paling pelit soal resettlement.

Kanada mungkin jadi pengecualian. Tapi sebagian besar lainnya? Hanya janji. Negara kita akhirnya jadi tempat parkir. Parkir sementara yang bisa memakan waktu sepuluh tahun atau lebih.


Aceh dan Rohingya: Warga Biasa yang Lebih Manusiawi

Kita juga tidak bisa lupa soal Aceh. Saat kapal-kapal Rohingya terombang-ambing di lautan, bukan negara yang pertama kali menyambut mereka. Warga lokal, nelayan, ibu-ibu dapur umum—mereka yang lebih dulu memberi tangan.

Tapi berapa lama solidaritas itu bisa bertahan? Di tengah kesulitan ekonomi, tentu rasa empati bisa memudar. Ini bukan soal kebencian, tapi soal beban.

Dan pemerintah? Kadang bergerak. Kadang bingung. Kadang diam.


Kita Butuh Aturan. Tapi Bukan Asal Aturan

Saya tahu banyak orang mendorong agar Indonesia punya Undang-Undang tentang pengungsi. Saya setuju, tapi juga ragu. Karena sering kali, aturan dibuat lebih untuk meredam, bukan menyelesaikan. Kita tidak butuh UU yang hanya menegaskan bahwa pengungsi tak punya hak. Kita butuh sistem yang memberi kejelasan—bagi mereka, dan bagi kita juga.

Bayangkan jika ada aturan yang jelas:

  • Siapa yang bisa tinggal
  • Apa hak dasarnya
  • Sampai kapan
  • Dan bagaimana kita bisa membantu mereka pindah ke tempat yang lebih layak

Semuanya jadi lebih rapi. Lebih manusiawi.


Sisi Lain yang Jarang Dibicarakan

Yang jarang orang sadari, banyak pengungsi ini bukan orang tanpa keahlian. Banyak yang dulunya guru, dokter, jurnalis. Tapi selama mereka hidup dalam status tanpa status, bakat itu menguap. Mereka jadi pengangguran abadi yang dipaksa pasif.

Beberapa dari mereka mengajar di sekolah komunitas. Ada yang jadi tukang sablon kaus. Ada yang nulis blog. Tapi tetap saja, semua itu bukan sistem. Itu cuma usaha bertahan.


Penutup: Kita Semua Sedang Menunggu

Saya tidak tahu apakah Indonesia akan menandatangani Konvensi 1951. Saya juga tidak yakin apakah negara-negara besar akan benar-benar peduli. Tapi satu hal yang pasti: di jalanan kita, di gang-gang kecil kota kita, ada orang-orang yang sedang menunggu.

Mereka tidak menuntut banyak. Hanya kepastian. Sedikit ruang untuk hidup. Dan mungkin, sedikit pengakuan bahwa mereka ada.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *