kemanusiaan suaka

Irak, 2003: Ketika Rumah Jadi Asing dan Dunia Terlalu Diam

Saya pernah duduk di sebuah warung kopi kecil di Istanbul, beberapa tahun lalu, bersama seorang pria Irak yang lebih banyak diam daripada bicara. Namanya Haidar. Wajahnya kaku, tapi matanya terus berkaca. Kami tak sedang membahas politik besar atau invasi militer. Ia hanya bercerita bagaimana anaknya berhenti bicara setelah malam rumah mereka dihancurkan oleh ledakan.

“Bukan karena suara bomnya,” katanya pelan. “Tapi karena saat itu, ia melihat ibunya tertimbun tembok.”
Lalu ia meneguk tehnya dan mengalihkan pandangan ke luar jendela.


Saat Amerika menyerbu Irak pada Maret 2003, saya belum sepenuhnya paham mengapa perang itu terasa aneh. Dikatakan Saddam harus disingkirkan, bahwa dunia akan lebih aman tanpa senjata pemusnah massal yang katanya tersembunyi di sana. Tapi sampai hari ini, yang saya lihat hanya kehancuran yang ditinggalkan.

Baghdad jatuh. Saddam digulingkan. Tapi setelah itu? Irak seperti kehilangan wajah. Kota-kota yang dulu berdenyut hidup berubah jadi lorong ketakutan. Bom bisa meledak di jalan raya, di pasar, bahkan di depan sekolah. Tidak ada yang benar-benar merasa aman—baik Sunni maupun Syiah.


Mereka Pergi, Karena Tak Ada Lagi Tempat Untuk Diam

Irak, 2003

Yang paling membuat hati perih adalah bagaimana banyak warga Irak dipaksa mengungsi, tanpa tahu kapan bisa kembali. Bukan hanya ratusan ribu—jutaan. Ada yang lari ke Suriah, ada yang menyeberang ke Yordania. Beberapa sampai ke Eropa, menumpang kapal atau menyewa jalur gelap.

Saya bertemu seorang jurnalis Irak perempuan di Amman. Ia menyamar sebagai guru matematika karena takut identitasnya dibongkar. Ia berkata, “Dulu aku mewawancarai orang, sekarang aku berharap tak ada yang mengenaliku.” Ironis, bagaimana dunia wartawan yang harusnya bicara malah dipaksa bungkam oleh rasa takut.

Dan bukan hanya dewasa. Anak-anak Irak, yang harusnya belajar menulis atau bermain bola, malah belajar menghafal arah lari saat sirene berbunyi.


Dunia Luar: Sibuk Berdebat, Lupa Bertanya

Negara-negara besar berdiskusi soal demokrasi, rekonstruksi, dan keamanan regional. Tapi siapa yang benar-benar mendengar suara seorang ibu yang kehilangan dua anaknya dalam pertempuran sektarian? Siapa yang mau tahu tentang pemuda 17 tahun yang harus mencuri makanan di pengungsian karena tak ada bantuan masuk selama tiga hari?

Terkadang saya bertanya-tanya, apakah dunia benar-benar peduli atau hanya ingin terlihat peduli.

Ada ribuan orang Irak yang tersesat di sistem suaka yang rumit di Eropa. Mereka bukan kriminal. Mereka hanya ingin tidur tanpa takut pintu rumah didobrak jam 3 pagi.


Tidak Semua Luka Berdarah

Beberapa luka Irak tak terlihat. Ada rasa malu yang diam-diam tumbuh di dalam jiwa orang-orang yang terpaksa jadi pengungsi. Mereka merasa rendah. Mereka merasa menjadi beban. Padahal mereka pernah punya rumah, pekerjaan, dan martabat.

Seorang mantan dosen dari Basra yang saya temui di Lebanon berkata, “Dulu saya yang menilai skripsi mahasiswa. Sekarang saya bersih-bersih apartemen agar anak saya bisa makan.”

Itu bukan keluhan. Itu pengakuan. Pengakuan dari seseorang yang hanya ingin hidup dengan tenang—tanpa suara ledakan, tanpa ancaman.


Lalu Apa?

Kadang saya pikir, tulisan seperti ini tak akan mengubah apa-apa. Dunia tetap berjalan. Pemimpin berganti. Perang baru terus terjadi.

Tapi jika ada satu hal yang bisa dilakukan oleh tulisan—mungkin hanya mengingatkan: bahwa di balik sejarah besar yang ditulis dalam buku, ada wajah-wajah kecil yang terlupakan. Ada anak-anak Irak yang masih tidak tahu kenapa rumah mereka hancur. Ada istri yang belum tahu apakah suaminya akan pulang. Ada Haidar, yang tak pernah bisa menjelaskan kepada anaknya kenapa ibunya tak bisa bangun dari reruntuhan.

Itu bukan hanya cerita Irak. Itu cermin untuk kita semua—tentang apa artinya jadi manusia saat dunia berubah jadi medan perang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *