Setelah Pemilu Presiden Amerika Serikat pada November 2024, publik internasional menaruh harapan besar terhadap reformasi kebijakan imigrasi USA, terutama dalam hal penahanan imigran dan nasib program DACA (Deferred Action for Childhood Arrivals). Namun, hampir satu tahun berlalu, dan hasil yang terlihat masih jauh dari ekspektasi para pendukung hak-hak imigran.
Latar Belakang: Warisan Kebijakan Imigrasi Era Trump
Pemerintahan sebelumnya telah dikenal karena kebijakan imigrasi ketat, termasuk:
- Penahanan massal imigran ilegal, termasuk keluarga dan anak-anak.
- Pembangunan tembok perbatasan dengan Meksiko.
- Pembatasan program DACA, yang memberikan perlindungan kepada “Dreamers”, anak-anak imigran tanpa dokumen.
Meskipun banyak aktivis berharap kebijakan ini akan dihapus oleh pemerintahan baru pasca-2024, kenyataannya tidak semudah itu.
Pemerintahan Baru, Pendekatan yang Sama?
Presiden terpilih setelah 2024—baik dari Partai Demokrat maupun Partai Republik—masih menunjukkan ambivalensi. Di satu sisi, mereka mengklaim ingin memperbaiki kebijakan imigrasi USA, tetapi di sisi lain:
- Pusat penahanan imigran masih beroperasi.
- Pendatang baru dari Amerika Tengah masih mengalami deportasi cepat.
- Program DACA masih digantung secara hukum, dengan gugatan dari negara-negara bagian konservatif.

Source Data:
- https://www.hrw.org/united-states/immigration
- https://tracreports.org/
- https://www.uscis.gov/DACA
- https://www.aclu.org/issues/immigrants-rights/immigrants-rights-and-detention
Analisis: Apa yang Menahan Perubahan?
Beberapa faktor utama:
- Polarisasi politik di Kongres, membuat reformasi menyeluruh hampir mustahil.
- Tekanan opini publik, terutama dari pemilih konservatif yang menentang imigrasi terbuka.
- Isu keamanan nasional, yang masih menjadi narasi utama untuk mempertahankan kebijakan penahanan.
Bagi para imigran dan pendukung hak asasi manusia, kebijakan penahanan ini merupakan bentuk kriminalisasi terhadap pencari kehidupan yang lebih baik. Salah satu aktivis dari United We Dream mengatakan:
Kami tidak memilih presiden baru hanya untuk melihat kebijakan lama tetap hidup dengan wajah berbeda.
Nasib DACA: Antara Harapan dan Gugatan
DACA masih menjadi medan tempur hukum. Meskipun pemerintah federal menunjukkan niat mempermanenkan program ini, pengadilan terus menjadi penghalang. Banyak “Dreamers” kini hidup dalam ketidakpastian, takut kehilangan pekerjaan, pendidikan, dan masa depan mereka.
Negara-negara lain kini mulai meragukan posisi Amerika Serikat sebagai panutan nilai-nilai kemanusiaan. Perlakuan terhadap pendatang lintas batas, terutama anak-anak, menuai kritik keras dari PBB dan lembaga hak asasi manusia global. Alih-alih menunjukkan perubahan berarti, kebijakan yang diterapkan justru mencerminkan kebuntuan moral dan ketidakjelasan arah reformasi.
Meskipun wacana politik tampak bergeser, arah baru dalam perlakuan terhadap pendatang belum terlihat nyata pada 2025. Penahanan tetap menjadi pendekatan dominan, sementara kebijakan terhadap para imigran muda masih terombang-ambing di tengah perdebatan hukum dan politik.
Jika pemerintah AS benar-benar ingin menunjukkan kepemimpinan global dalam isu HAM, maka kebijakan imigrasi harus merefleksikan nilai keadilan dan kemanusiaan, bukan ketakutan dan eksklusi.
Tinggalkan Balasan