kemanusiaan suaka

Krisis Laut Merah 2025: Militerisasi Jalur Perdagangan Global Mengancam Stabilitas Internasional

krisis Laut Merah

Krisis Laut Merah menjadi sorotan dunia karena kawasan ini merupakan salah satu jalur pelayaran paling vital, dengan sekitar 12% perdagangan global termasuk minyak mentah, kontainer logistik, dan produk elektronik dari Asia menuju Eropa melewati wilayah tersebut. Sejak akhir 2023, serangan kelompok Houthi terhadap kapal dagang internasional telah memicu konflik yang kian parah di tahun 2025, memaksa dunia menghadapi realitas baru: militerisasi jalur perdagangan strategis global.

Awal Mula Krisis: Serangan Houthi dan Motifnya

Kelompok bersenjata Houthi di Yaman, yang mendapat dukungan Iran, mulai menargetkan kapal-kapal internasional sebagai bentuk tekanan terhadap negara-negara Barat dan solidaritas terhadap Palestina. Lebih dari 100 insiden tercatat sejak Oktober 2023, termasuk penembakan rudal, penggunaan drone, dan penyusupan dengan speedboat.

Pada pertengahan 2025, kapal “Eternity C” dan “Magic Seas” tenggelam akibat serangan kompleks yang memperparah Krisis Laut Merah. Insiden ini menandai babak baru dalam konflik: tak hanya blokade, tetapi juga serangan mematikan terhadap pelayaran sipil.

Respons Militer: Operasi Internasional

Untuk menjaga stabilitas jalur perdagangan:

  • AS dan sekutu meluncurkan Operation Prosperity Guardian dengan misi defensif dan ofensif.
  • Uni Eropa membentuk Operation Aspides, fokus pada perlindungan kapal dagang.
  • Israel melancarkan serangan udara ke pelabuhan Hodeida menambah eskalasi militer.

Namun, kehadiran militer besar-besaran justru menciptakan ketegangan baru, termasuk potensi bentrok dengan aktor negara seperti Iran dan sekutu Tiongkok.

Dampak Ekonomi Global: Supply Chain dalam Krisis

Efek krisis ini terasa nyata dalam logistik global:

  • Rute kapal dialihkan ke Cape of Good Hope, menambah waktu tempuh hingga 10 hari dan biaya operasional hingga US$1 juta per kapal.
  • Biaya asuransi meningkat tajam, bahkan beberapa perusahaan menarik armadanya dari Laut Merah.
  • Tarif pengiriman kontainer ke Eropa melonjak hingga 256% sejak awal tahun (Xeneta, 2025).
  • Suez Canal alami penurunan trafik signifikan, menurunkan pemasukan Mesir dan memperburuk inflasi di negara berkembang.

Perspektif Geopolitik: Bukan Sekadar Perdagangan

Krisis ini membuka realitas baru:

  • Iran mendapatkan leverage strategis melalui proxy-nya, Houthi.
  • China dan Rusia menolak berpartisipasi dalam koalisi militer, menandai perpecahan kebijakan luar negeri global.
  • Negara berkembang seperti Indonesia dan Turki terjepit antara kepentingan ekonomi dan posisi diplomatik netral.

Apa Dampak Krisis Laut Merah bagi Indonesia?

Meskipun Indonesia tidak terlibat langsung, dampaknya terasa:

  • Kenaikan harga barang impor akibat lonjakan biaya logistik.
  • Ketergantungan ekspor pada jalur Suez terancam.
  • Kebutuhan memperkuat armada patroli di Selat Malaka demi pencegahan efek domino konflik regional.

Krisis Laut Merah bukan sekadar konflik regional, tapi ancaman terhadap tatanan ekonomi global. Militerisasi jalur perdagangan bukan solusi jangka panjang, justru membuka risiko konflik berskala lebih besar. Dunia butuh lebih dari sekadar kapal perang: diplomasi, kesepakatan damai di Yaman, dan komitmen multilateral adalah kunci keluar dari kekacauan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *