Kali ini kita akan membahas kasus suaka yang tak sering dibahas atas di gantungnya suaka dari para Rohingya di India dan Bangladesh yang di gadang berbeda perlakuan seperti yang di lakukan Indonesia. Rasanya nggak banyak yang masih bahas soal pengungsi Rohingya sekarang. Padahal mereka masih terus hidup dalam kondisi serba terbatas. Banyak dari mereka nyangkut di perbatasan, bukan karena pengin, tapi karena terpaksa. Lari dari kekerasan, tapi malah nemu tembok dingin di negara tujuan.
Ceritanya begini. Orang Rohingya ini dari Myanmar, khususnya di daerah Rakhine. Mereka udah lama dianggap bukan warga negara di sana. Akibatnya, saat terjadi konflik, mereka jadi sasaran empuk. Rumah dibakar, kampung dihancurin, mereka pun kabur ke negara tetangga: India dan Bangladesh.
Table of Contents
Suaka Bangladesh: awalnya diterima, lama-lama dibatasi

Waktu gelombang pengungsi datang ke Bangladesh, banyak yang simpati. Mereka dikasih tempat tinggal di kamp besar kayak di Cox’s Bazar. Tapi makin lama, jumlahnya makin banyak, kondisi makin sesak, dan pemerintah mulai kelimpungan.
Awalnya kamp-kamp itu dikelola dengan dukungan LSM dan bantuan internasional. Tapi makin lama, bantuan mulai berkurang. Pemerintah Bangladesh mulai kelihatan lelah. Mereka khawatir soal keamanan, tekanan ekonomi, dan konflik sosial antara warga lokal dan pengungsi. Biar gimana pun, menampung hampir satu juta orang dalam satu wilayah itu bukan perkara gampang.
Hidup di kamp bukan hal mudah. Nggak bebas keluar, nggak bisa kerja, anak-anak nggak sekolah formal. Pemerintah bahkan mindahin ribuan orang ke pulau terpencil, Bhasan Char. Katanya sih biar lebih tertata, tapi faktanya banyak dari mereka yang nggak mau pindah ke sana karena tempatnya terpencil banget, jauh dari fasilitas, dan rawan banjir kalau musim hujan datang.
Beberapa pengungsi juga bilang kalau hidup di Bhasan Char seperti dipenjara. Mereka kesulitan akses air bersih, layanan kesehatan, bahkan komunikasi ke luar. Buat mereka, pulau itu lebih mirip tempat buangan daripada solusi.
Suaka India: hidup di antara bayang-bayang
Di India, nasib mereka beda lagi. Pemerintah India nggak ngakuin Rohingya sebagai pengungsi. Mereka dianggap imigran ilegal. Jadi ya hidupnya ngumpet. Banyak yang tinggal di pemukiman darurat, kadang harus pindah-pindah karena takut dirazia.
Di beberapa kota seperti Delhi, Jammu, dan Hyderabad, mereka tinggal di rumah-rumah sempit yang dibangun dari bahan seadanya. Tanpa listrik memadai, tanpa sanitasi layak. Meski begitu, mereka tetap bertahan karena nggak punya pilihan.
Mereka nggak bisa kerja secara resmi, anak-anak susah sekolah, dan kadang bahkan ada yang dideportasi balik ke Myanmar. Padahal jelas-jelas situasi di sana masih berbahaya. Tahun-tahun belakangan, India sudah mendeportasi beberapa kelompok Rohingya, termasuk perempuan dan anak-anak.
Buat banyak orang Rohingya di India, hidup itu seperti duduk di kursi goyang: kelihatan bergerak, tapi nggak ke mana-mana. Mereka tetap di situ, tanpa status, tanpa masa depan yang jelas.
Dibanding Rohingya di India dan Bangladesh dan Indonesia
Kalau dibanding sama Indonesia, perlakuan kita ke pengungsi Rohingya sebenarnya lebih manusiawi. Walaupun belum sempurna, tiap kali kapal mereka mendarat di Aceh, warga sekitar suka bantu. Mereka dikasih makanan, tempat singgah, dan perlindungan sementara.
Indonesia juga belum menandatangani konvensi pengungsi PBB, tapi pendekatan kita cenderung lebih empatik. Banyak bantuan datang dari masyarakat sipil dan relawan lokal. Walaupun sistem penanganannya masih belum rapi, paling nggak mereka nggak langsung diusir atau dipaksa balik ke tempat asal.
Realitanya Rohingya di India dan Bangladesh: Mereka masih stateless
Yang paling menyedihkan, mereka udah kehilangan negara asal, tapi nggak ada negara baru yang mau benar-benar terima. Mereka jadi “manusia tanpa negara”, hidup di tengah-tengah, dan sering kali dianggap cuma beban.
Banyak anak Rohingya tumbuh besar di kamp, nggak pernah tahu rasanya punya identitas. Mereka nggak bisa bikin paspor, nggak bisa lanjut sekolah, dan tentu aja sulit kerja. Bayangin aja, dari kecil sampai remaja, hidupmu selalu dibatasi karena kamu dianggap nggak ada.
Kondisi ini juga menciptakan frustrasi jangka panjang. Nggak sedikit yang akhirnya ikut jaringan ilegal karena putus asa. Ada yang nekat nyebrang ke negara lain pakai perahu kecil, ada juga yang tertipu sindikat perdagangan manusia.
Perempuan Rohingya bahkan menghadapi risiko berlapis. Selain nggak punya akses pendidikan dan pekerjaan, mereka juga rentan jadi korban kekerasan, eksploitasi, dan pernikahan dini. Banyak yang menikah di usia 14 atau 15 tahun karena dianggap satu-satunya cara “keluar” dari situasi sulit.
Penutup
Kasus Rohingya di India dan Bangladesh mungkin udah jarang jadi berita, tapi bukan berarti masalahnya selesai. Mereka masih ada, masih bertahan, dan masih butuh perhatian. Yang dibutuhin bukan cuma tenda dan mie instan. Tapi pengakuan. Hak untuk diakui sebagai manusia yang layak hidup, belajar, dan punya masa depan.
Kalau dunia terus tutup mata, berarti kita semua ikut nyumbang dalam diam. Karena diam di hadapan ketidakadilan, juga sebuah pilihan.
Suaka Boat People Vietnam – Ketika Dunia Masih Mau Mendengar Jeritan
Leave a Reply