kemanusiaan suaka

Perempuan Brasil :Ketika Kepercayaan Jadi Alasan Lari Refleksi atas Kasus Suaka

Perempuan Brasil

Pertanyaan ini bukan sekadar spekulasi. Ia hidup nyata dalam sosok seorang perempuan Brasil yang pada tahun 2025 mengajukan suaka ke Amerika Serikat karena kepercayaannya—bukan karena perang, bukan karena politik, tapi karena Candomblé, sebuah tradisi spiritual Afro-Brasil yang membentuk identitas hidupnya. Ketika Kepercayaan Jadi Alasan Lari: Refleksi atas Kasus Suaka Perempuan Brasil

Kasus ini tidak heboh di media internasional. Tapi diam-diam, ia menyodorkan wajah lain dari krisis pengungsi: mereka yang mengungsi bukan karena peluru, tapi karena penghakiman sosial yang sunyi.


Candomblé: Keyakinan yang Selalu Diperdebatkan

Brasil adalah negeri yang konstitusinya menjamin kebebasan beragama. Namun dalam praktiknya, tak semua agama diperlakukan sama.

Candomblé, yang hidup di lorong-lorong sejarah para budak Afrika, masih sering dicurigai sebagai “ilmu hitam”. Praktiknya yang sarat ritual, pemanggilan roh leluhur, dan musik ritmis, dianggap asing oleh mayoritas yang menganut kekristenan—terutama golongan Evangelis.

Dalam konteks itu, pemeluk Candomblé bukan sekadar minoritas. Mereka adalah minoritas yang dianggap “berbahaya”, meski tak pernah menyerang siapa pun.


Perempuan, Minoritas, dan Sendiri

Perempuan Brasil

Lahir sebagai perempuan saja sudah menempatkan seseorang pada posisi rawan dalam masyarakat patriarkal. Menjadi perempuan penganut agama minoritas? Risiko itu berlipat.

Dalam kasus ini, ia bukan aktivis. Ia tidak turun ke jalan. Ia hanya mengenakan gelang keagamaan dan menjalankan ibadah tradisi. Namun justru di situlah masalahnya: ia “terlihat” terlalu berbeda.

Ancaman fisik, pengucilan sosial, dan diamnya aparat penegak hukum adalah kombinasi yang membuatnya merasa terpojok. Dan ketika keadilan tak datang, ia memilih langkah terakhir: pergi.


Suaka: Jalan Hukum yang Sering Disalahpahami

Banyak orang mengira suaka hanya untuk mereka yang lolos dari konflik bersenjata. Padahal, Konvensi Pengungsi 1951 sangat jelas: agama termasuk salah satu alasan sah untuk pengajuan suaka.

Dalam prosesnya, perempuan ini tidak membawa luka fisik. Tapi ia membawa luka batin yang kronis. Ia tak punya rekaman CCTV, tapi punya dokumentasi laporan polisi yang diabaikan, surat ancaman, dan catatan psikolog tentang trauma sosial yang dialami.

Akhirnya, setelah hampir setahun, pengadilan imigrasi Amerika Serikat menyetujui permohonannya. Sebuah pengakuan hukum atas apa yang negara asalnya gagal lakukan: memberi rasa aman.


Refleksi: Siapa yang Menentukan Apa Itu Ancaman?

Yang menarik dari kasus ini bukan hanya hasil akhirnya, tapi pertanyaan mendasarnya: siapa yang berhak menentukan apa itu “normal” dan apa itu “sesat”? Apakah mayoritas otomatis benar? Dan ketika negara membiarkan tekanan sosial terjadi atas nama “kebebasan berekspresi”, apakah itu bukan bentuk lain dari pembiaran kekerasan?

Perempuan ini tidak hanya mengajukan suaka. Ia juga mengajukan gugatan terhadap cara pandang kolektif yang picik.


Apa yang Bisa Kita Pelajari?

  1. Perlindungan hukum harus menyentuh sisi budaya
    Hukum yang hanya tertulis tanpa perlindungan praktis terhadap minoritas kepercayaan adalah hukum kosong.
  2. Literasi suaka harus diperluas
    Masih banyak orang di negara-negara berkembang yang tidak tahu mereka bisa memperjuangkan keselamatan lewat jalur legal.
  3. Solidaritas global penting
    Tanpa komunitas dan jaringan internasional yang mendampinginya, mungkin perempuan ini akan tetap dibungkam.

Penutup: Suara yang Tidak Lagi Diam

Kini ia tinggal di negara yang memberinya ruang untuk percaya tanpa diserang. Ia mengajar kembali. Ia hidup dalam diam yang lebih damai. Dan meski kisahnya tak viral, ia meninggalkan pesan keras: kebebasan beragama bukan soal bisa beribadah, tapi soal bisa hidup tanpa takut.

Dan selama di luar sana masih ada yang takut karena menjadi dirinya sendiri, perjuangan belum selesai. Bagi setiap jiwa yang terpaksa meninggalkan tanah kelahiran demi bertahan, semoga dunia tidak hanya menjadi tempat pelarian, tapi juga ruang yang adil untuk tumbuh, dipercaya, dan dihargai. Karena setiap pejuang suaka sejatinya bukan hanya mencari tempat tinggal, melainkan tempat di mana keberadaan mereka diakui sebagai manusia seutuhnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *