Perjalanan Tanpa Peta: Ketika Laut Jadi Harapan Terakhir
Tercatat di tahun 2025 terdapat 2.800 orang dari Rohingya yang ada di Indonesia. Lantas, apakah langkah yang harus diambil dalam kondisi seperti ini adalah suaka? Awal tahun 2025, nelayan di pesisir Aceh kembali menemukan perahu kayu berpenumpang puluhan orang asing. Wajah letih, tubuh kurus, dan mata yang tak lagi menyimpan tanya. Mereka Rohingya. Mereka datang bukan untuk tinggal, melainkan untuk hidup—jika itu masih memungkinkan.
Lebih dari 2.800 orang telah terdata, menjadikan tahun ini salah satu lonjakan terbesar setelah gelombang tahun 2020. Namun, angka hanyalah permukaan. Di baliknya, ada sejarah panjang penolakan dan pengusiran.
Table of Contents
Mengapa Mereka Pergi?

Tak mudah menjelaskan siapa itu Rohingya tanpa menyentuh luka. Mereka hidup di Myanmar, tapi tak dianggap bagian dari negara itu. Mereka:
- Tak punya kewarganegaraan resmi
- Sering diusir dari tanah mereka sendiri
- Tak punya hak atas layanan dasar
- Kerap menjadi korban kekerasan bersenjata
Selama bertahun-tahun, dunia menyaksikan dengan diam atau setengah perhatian. Ketika rumah mereka dibakar, dan keluarga mereka dibunuh atau ditahan, tak banyak negara yang membuka pintu. Maka ketika perahu itu melaju, mereka tidak tahu di mana akan berhenti—hanya bahwa mereka tak bisa kembali.
Kenapa Indonesia?
Indonesia bukan pilihan utama, tapi alternatif yang paling masuk akal. Perairan terbuka, reputasi netral, serta eksistensi LSM dan relawan menjadi alasan mengapa perahu mereka berlabuh di sini.
Beberapa fakta:
- Jalur Teluk Bengal menuju Sumatera relatif bisa diakses
- Beberapa komunitas Rohingya sebelumnya sudah tinggal di Aceh
- Tidak ada sistem deportasi cepat yang membuat mereka langsung ditolak
Selain itu, Indonesia dikenal sebagai bangsa dengan kultur gotong royong dan toleransi. Setidaknya, itu yang mereka dengar. Dan dalam ketidakpastian, harapan bisa tumbuh hanya dari kabar.
Suaka: Kata yang Sederhana, Makna yang Rumit
Secara hukum internasional, suaka adalah bentuk perlindungan bagi orang-orang yang terancam di negaranya. Tapi di Indonesia, definisinya belum sekuat itu.
- Indonesia belum menandatangani Konvensi 1951
- Belum ada UU khusus tentang pengungsi
- Penanganan banyak bergantung pada lembaga luar seperti UNHCR dan IOM
Meski demikian, secara praktik, pencari suaka tetap mendapat toleransi tinggal selama proses berlangsung. Mereka diberikan kartu pengenal dari UNHCR, tapi bukan identitas hukum dari negara. Ini berarti akses terhadap layanan dasar pun sangat terbatas.
Kondisi Mereka Saat Ini
Hidup mereka jauh dari nyaman:
- Tempat tinggal: barak darurat tanpa sanitasi memadai
- Makanan: bergantung sepenuhnya pada bantuan
- Pendidikan: anak-anak tidak diizinkan bersekolah formal
- Kesehatan mental: trauma yang tak tertangani
Di Lhokseumawe, beberapa warga lokal bahkan membuka dapur umum. Namun itu pun bersifat sementara. Sebagian besar pengungsi tidak memiliki ruang untuk berkembang—bahkan sekadar berbicara tanpa rasa takut pun sulit.
Di sisi lain, muncul juga ketegangan dengan warga lokal. Isu pekerjaan, distribusi bantuan, hingga ketidakseimbangan fasilitas memunculkan gesekan. Situasi ini menjadi rapuh jika tidak ditangani dengan pendekatan partisipatif dan transparan.
Kata Mereka
“Saya tidak mencari kemewahan, saya hanya ingin aman.” – Yasmin, 22 tahun
“Saya tahu ini bukan rumah. Tapi saya tidak punya tempat lain.” – Hasan, 17 tahun
“Kami pernah ditolak di laut, kami berharap di sini tidak ditenggelamkan.” – Nurul, 35 tahun
“Yang kami minta bukan simpati, tapi pengakuan bahwa kami manusia.” – Karim, 44 tahun
Apa yang Bisa Dilakukan?
Jika suaka penuh belum mungkin, maka setidaknya:
- Berikan dokumen sementara untuk akses layanan dasar
- Libatkan masyarakat lokal agar integrasi berjalan damai
- Kampanye media untuk melawan stigma
- Lobi internasional untuk percepatan pemindahan ke negara ketiga
- Tingkatkan koordinasi antar kementerian agar tidak terjadi tumpang tindih tanggung jawab
Dalam jangka panjang, Indonesia perlu menyusun regulasi transisi yang memungkinkan pemohon suaka hidup layak selama menunggu proses.
Peran Media dan Akademisi
Media berperan penting membentuk persepsi publik. Sayangnya, banyak narasi yang bias—mengaitkan pengungsi dengan beban ekonomi, tanpa menyentuh konteks historisnya. Di sisi lain, akademisi dan peneliti perlu mendorong wacana kritis: mengapa negara-negara seperti Myanmar tetap kebal dari tekanan internasional?
Kemanusiaan yang Diuji
2.800 orang itu bukan pelanggar hukum. Mereka adalah korban sistem. Jika negara tak bisa memberi status, setidaknya jangan mengambil hak dasar mereka sebagai manusia.
Karena di ujung cerita ini, pertanyaannya bukan apakah Indonesia siap menerima, tapi apakah kita siap membiarkan mereka terus menunggu. Tidak semua pertanyaan harus dijawab dengan kebijakan; beberapa cukup dijawab dengan kemauan untuk mendengar dan memahami.
1 Panduan Lengkap Sistem Suaka: Dari Krisis Hingga Perlindungan yang Bermartabat
Leave a Reply